Donderdag 16 Mei 2013

MANUSIA DAN KEADILAN




A.     MAKNA DAN HAKEKAT KEADILAN
Keadilan adalah memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Socrates mengatakan bahwa keadilan tercapai apabila pemerintah mempraktekkan ketentuan hukum atau melaksanakan tugasnya dan rakyat merasakannya.
Plato menilai tercapainya keadilan apabila setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasar yang dianggap cocok bagi orang tersebut, sedangkan tindakan manusia dipandang layak apabila pihak yang sama mendapatkan bagian sama (Aristoteles) Hak merupakan wewenang untuk memiliki, meninggalkan, atau menuntut sesuatu. Materi hak menyangkut individu, namun hak bukan milik perseorangan. Hak seseorang terkait dengan hak orang lain.
Disamping hak, seorang individu juga memiliki berbagai kewajiban, yakni kewajiban terhadap Allah, masyarakat dan diri sendiri. Kewajiban terhadap Allah diwujudkan dalam bentuk memuja dan mengabdi, kewajiban terhadap masyarakat dengan menolong orang lain, sedangkan kewajiban terhadap diri sendiri diwujudkan dengan melakukan perbuatan yang baik.

1.      Teori Keadilan dalam filsafat hukum
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.3 Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice.
a.      Teori keadilan Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.
b.      Teori keadilan dalam filsafat hukum Islam
Keadilan ilahiyah: dialektika muktazilah dan asy’ariah
Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar – yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif.
Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis.
B.      KORELASI ANTARA MANUSIA DAN KEADILAN
Setiap manusia berhak diperlakukan adil dan berlaku adil dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Orang yang menuntut hak, tapi lupa kewajiban, tindakannya pasti akan mengarah pada pemerasan, sebaliknya orang yang menjalankan kewajiban, tetapi lupa menuntut hak akan mudah diperbudak oleh orang lain
Keadilan merupakan budaya bangsa Indonesia. Sejak dahulu, manusia meminta keadilan kepada Allah dengan cara berdoa. Pada jaman kerajaan jawa tempo dulu ada budaya “pepe” yang dilakukan oleh rakyat yang meminta keadilan.
Keadilan diekspresikan dengan berbagai cara, misalnya membuat pepatah yang menunjukan adanya tuntutan terhadap perlakuan adil, misalnya pepatah “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah” Ada yang membuat karya seni yang menyuarakan keadilan, seperti seni musik, prosa dan puisi. Ada yang pula yang menuntut keadilan dengan cara berpuasa sampai mati atau sampai tuntutan keadilannya terpenuhi, menjahit mulut, membakar diri dan sebagainya. *
Keadilan di dalam masyarakat sama dengan asas yang di atasnya didirikan sebuah bangunan sedangkan ihsan sama dengan hiasan sebuah bangunan tersebut dengan cat dan warna-warnanya. Maka kita harus, pertama, membangun asas dulu kemudian baru mengecatnya dan juga memperindahkannya. Apabila bangunan ini telah siap tetapi lemah asasnya maka apakah faedahnya warna dan hiasan itu? Sedangkan apabila asas bangunan itu kukuh, maka tentunya bangunan itu dapat dihuni walaupun belum diperindahkan dan tanpa hiasan. Ada ketikanya satu bangunan itu berlebihan dalam hiasan dan kemewahan lahiriahnya namun asasnya tidak kukuh. Dalam keadaan seperti itu bangunan ini boleh runtuh apabila ditimpa bencana alam seperti hujan lebat.
Selanjutnya, kebaikan, ihsan dan itsar yang pada suatu ketika baik dan bermanfaat serta memiliki keutamaan yang besar di dalam pandangan pelaku kebaikan dan ihsan itu, tetapi pada suatu ketika yang lain tidak baik bagi mereka yang menerima kebaikan dan ihsan tersebut. Ini termasuk yang harus kita perhitungkan sebagaimana kita harus memperhitungkan perhitungan masyarakat. Apabila kita tidak menjaga keseimbangan sosial, dan membiarkan masalah-masalah berjalan tanpa pertimbangan, maka keutamaan moral ini juga kadang-kadang mengakibatkan kemalangan umum dan kehancuran masyarakat. Oleh kerana itu sedekah yang banyak, wakaf-wakaf yang melimpah dan nazar-nazar yang berlebihan akan menjadi seperti banjir yang memporakperandakan masyarakat, ketika ia terbukti mengakibatkan kemalasan orang dan menciptakan masyarakat penganggur yang rusak fikirannya akibat tindakan kebaikan yang berlebih-lebihan itu. Kerugian seperti ini tidak lebih sedikit dari kerugian akibat serangan pasukan tentera musuh yang biadab. Itulah yang dimaksudkan dengan ayat yang mulia yang bermaksud:

Referensi
2.      John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
4.      Teori keadilan menurut perspektif hokum islam